JAKARTA, Wartaotonomibaru.com – Indra Charismiadji, President Director PT Eduspec Indonesia.
Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan revisi Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020, Pasal 9A. Dengan revisi itu, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diperbolehkan untuk membeli layanan platform pendidikan daring dalam rangka pembelajaran dari rumah. Padahal, Kemdikbud telah memiliki platform Rumah Belajar yang dapat diakses secara gratis.
Tentunya ini menimbulkan sejumlah tanda tanya dan protes keras dari para pemerhati pendidikan. Praktisi Pendidikan, Indra Charismiadji misalnya. Ia mempertanyakan kebijakan yang dinilainya mubazir itu.
“Bukankah Kemdikbud sudah punya platform gratis untuk siapa pun yaitu Rumah Belajar yang manfaatnya sama persis dengan yang berbayar? Mengapa harus menghamburkan uang rakyat untuk membeli sesuatu yang sudah dimiliki pemerintah dan digunakan untuk kepentingan bersama tanpa membebani APBN?” kata Indra.
Indra menuturkan, hingga kini, total pengguna layanan gratis Rumah Belajar masih berkisar di angka enam juta pengguna. Ini tentu jumlah yang amat minim karena Rumah Belajar didirikan untuk melayani seluruh peserta didik yang ada di Indonesia secara gratis.
Menurut Indra, apabila Kemdikbud mengakui konten Rumah Belajar tidak menarik, seharusnya mereka mengundang para guru yang berkontribusi di konten berbayar untuk bekerja sama di Rumah Belajar dan diberi honor.
“Kemdikbud punya anggaran Rp 70 triliun lebih. Sepertinya cukup untuk membuat konten yang bahkan lebih baik daripada konten yang berbayar,” ucapnya.
Indra menyebutkan, layanan Rumah Belajar perlu ditingkatkan karena hadirnya konten-konten pada platform daring berbayar belum terbukti menghasilkan sumber daya unggul. Hal ini didukung dengan kemampuan membaca anak Indonesia yang dari tahun 2000 sampai 2018 tidak meningkat dan menempati salah satu yang terendah di dunia.
“Harusnya mereka berpikir bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa secara nyata bukan ilusi,” kecamnya.
Selanjutnya, Indra menyebutkan, konten yang ditawarkan oleh platfrom belajar daring ini juga sistem pembelajarannya belum diakui dan terakreditasi baik nasional maupun internasional. Pasalnya, konten yang ditawarkan pada umumnya bisa didapatkan secara gratis.
“Kita melihat konten dari platform-platform tersebut yang menggunakan uang rakyat dari pos lain yaitu Kartu Prakerja, kebanyakan isinya adalah sesuatu yang bisa didapatkan secara gratis tetapi dibuat berbayar menggunakan APBN. Jujur menurut saya ini adalah perbuatan yang sangat jahat. Para pelaku usaha ini tahu bangsanya masih bodoh, bukannya dicerdaskan malahan tambah dibodohi untuk mengeruk keuntungan,” pungkasnya.
(Royke Rumamby)