
JAKARTA,Wartaotonomibaru.com – Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Arif Susanto meminta pemerintah dan DPR agar fokus mengatasi wabah Covid 19 atau virus corona daripada membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Alasannya Covid 19 telah menewaskan lebih dari 200 orang masyarakat Indonesia. Wabah ini juga telah menyebar di seluruh Tanah Air.
“Melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja Kerja (Ciptaker), merencanakan pembebasan napi korupsi, memberi pesan keliru bahwa DPR maupun pemerintah minim sensitivitas. Bahkan mencuri kesempatan di tengah deraan pandemi Covid-19,” kata Arif dalam diskusi bertema “Pembahasan RUU Ciptaker di Tengah Pandemi Covid 19 di Jakarta, Selasa (7/4/2020).
Diskusi dilakukan secara jarak jauh dengan memanfaatkan program Zoom.
Arif mengemukakan daripada membahas RUU Ciptaker yang kontroversial, lebih baik pemerintah dan DPR fokus dan mengerahkan sumber daya secara optimal demi penanganan pandemi Covid-19, termasuk dampak ikutannya.
Langkah-langkah penanganan bukan harus hanya cepat, tetapi juga tepat. Pada saat yang sama terdapat kebutuhan untuk memajukan riset, bidang kesehatan, dan bidang-bidang lain, sebagai bagian pemenuhan janji kampanye presiden.
Di banyak negara kita menyaksikan para pemimpin politik bersedia menyumbangkan gaji mereka demi penanganan Covid-19. Ini menjadi bagian penanda solidaritas. Di sini, anggota DPR malah ingin diistimewakan untuk menjalani tes Covid-19 bersama keluarga mereka,” jelas Arif yang juga analis politik pada Exposit Strategic.
Dia meminta para politisi agar tidak bermanuver mencari simpati di tengah pandemi Covid 19 atau virus corona. Situasi sekarang menuntut solidaritas dan kepekaan, bukan menunjukkan ambisi politik.
Dia juga melihat masalah koordinasi menjadi tontonan yang buruk ditampilkan internal pemerintah ke masyarakat. Hal itu malah menambah kebingungan di tengah ketidakpastian yang dihadapi masyarakat. Persoalan ini tidak hanya menyangkut organ-organ istana, tetapi menjadi salah satu kelemahan penting yang menghambat sinergi pusat-daerah maupun antar-pemerintah daerah.
Menurutnya, dalam situasi pandemi seperti sekarang, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Suatu kepemimpinan yang mampu mengorkestrasi sumber-sumber daya kekuasaan sehingga dapat bergerak sesuai kebutuhan dan bersuara sesuai keadaan. Hal ini bukan semata menuntut daya rekat kekuasaan, melainkan pula kemampuan untuk menghadirkan solusi. (Sutiono)