James Riady: Mari Tangani Pandemi Covid-19 Bersama-sama




0 0
Read Time:4 Minute, 2 Second

JAKARTA, Wartaotonomibaru.com – Pendiri Siloam Hospitals, James Riady mengunjungi rumah sakit khusus bagi pasien Covid-19 yang dibangun di pusat perbelanjaan Lippo Plaza Mampang di Jakarta Selatan pada Senin, 30 Maret 2020. CEO Lippo Group tersebut juga menemani Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dr Widyastuti MKM berkeliling untuk melihat ruang-ruang perawata, seperti ruang perawatan ringan, ICU, dan HCU. Rumah sakit ini beroperasi atas kerja sama Rumah Sakit Siloam dengan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta untuk merawat pasien virus “corona” serta untuk memutus mata rantai penyebaran virus “corona” di Jakarta.

Pandemi Covid-19 di Indonesia masih jadi persoalan yang belum terselesaikan. Sebab, pandemi tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga roda perekonomian nasional. Untuk itulah, pemerintah dan swasta sudah selayaknya bergotong-royong untuk menangani pandemi bersama-sama.

Dalam mengatasi ini, Ketua Yayasan Pendidikan Pelita Harapan, James Riady berpendapat bahwa pihak swasta memiliki peran penting dalam membantu pemerintah melihat kondisi terkini di lapangan. Apalagi, tidak ada sistem yang dirancang dan dipersiapkan khusus untuk menangani pandemi seperti saat ini.

“Kita memiliki rumah sakit di RRC, Myanmar, Jepang, dan 106 klinik di Singapura. Mulai akhir Desember, kita yang dipanggil oleh pemerintah untuk mejelaskan apa yang terjadi. Ternyata ini pandemi bukan epidemi, dan hal tersebut pun terjadi. Maka hal pertama yang dilakukan di luar negeri adalah melakukan testing,” ujar James dalam diskusi virtual yang digelar Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Berita Satu Media Holdings (BSMH) bertajuk “Gaduh Gara-gara Covid-19” di Jakarta, Rabu (13/5/2020).

Dengan mempelajari alur penanganan Covid-19, James pun sependapat bahwa melakukan tes massal dalam situasi seperti ini adalah kuncinya. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri pada prediksi terburuk bahwa, 12 atau 24 bulan ke depan vaksin belum juga ditemukan.

James mengatakan, tanpa melakukan tes pihak rumah sakit ataupun petugas medis tidak dapat melakukan perawatan khusus untuk pasien yang terindikasi Covid-19, melakukan isolasi, dan juga melakukan penelusuran kontak.

Saat ini di Indonesia, James menganggap bahwa tes massal sudah dilakukan dengan baik. Terlebih, pemerintah juga telah membuka kesempatan pihak swasata yang telah memenuhi standar tempat dan pelayanan untuk membantu melakukan tes dan menangani pasien Covid-19.

Selain tes massal, hal lain yang menjadi sorotan pemerintah adalah ketersediaan reagen dan kurangnya tenaga medis. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, Indonesia memiliki ketersediaan reagen yang cukup.

“Di lab kita, kita ini punya 100.000reagen, mau dapat 200.000 pun bisa. Namun, sistem di Indonesia yang disetujui hanya reagen dari Roche karena hanya Roche yang selama ini mendaftar di Indonesia. Kalau kita tidak terpaku dengan satu reagen itu dan kita membuka, ternyata banyak. Sekarang yang kita pakai, yang lain juga mulai pakai yang sama. Reagen ini sebenarnya bukanlah masalah,” ungkapnya.

Kemudian, untuk tenaga atau sumber daya menurutnya, jika pemerintah bersedia membayar dengan upah yang sepadan, maka ketersediaan tenaga di Indonesia itu akan banyak.

“PCR di seluruh Indonesia mungkin ada 150 sampai 200 PCR. Melakukan satu tes PCR per hari kalau ada dua sampai tiga sheet dia mampu dalam sehari mencapai 300 hingga 500 kasus pasien. Dengan demikian, semestinya kapasitas ini ada untuk bisa dikembangkan. Bukan hanya dengan banyak, tetapi juga cepat. Kalau tenaganya ada, PCR testingmestinya bisa memberikan hasil 7 hingga 8 jam bisa dapat hasil,” tuturnya.

Selanjutnya, menyoroti ketersediaan fasilitas di rumah sakit, hal yang masih menjadi persoalan adalah minimnya kapasitas tempat tidur ruang ICU. Mengingat penambahan pasien Covid-19 yang terus meningkat, fasilitas tersebut sudah sepatutnya tersedia.

“Jadi kalau Jabodetabek dengan 30 juta penduduk, kalau 0,1% aja kena Covid-19 itu sudah 30.000 dan kalau 10% sekitar 3.000 pasien perlu ICU bed khusus Covid-19 tidak tersedia di Jakarta. Estimasi kita itu kira-kira hanya ada maksimum 1.000 bed (di Jakarta). Untuk kategori 1, berat, dan komplikasi butuh ICU dan ventilator. Kita tidak punya kapasitas sebanyak itu, dan harus ditingkatkan,” terangnya.

Ia pun optimistis, dalam masa krisis ini, Indonesia akan bisa meningkatkan pelayanan dan penanganan kasus Covid-19 dengan baik. Apalagi setelah belajar dari pengalaman pemerintah Singapura saat menghadapi SARS.

“Saat SARS mereka mengambil suatu keputusan bahwa setiap rumah sakit mutlak harus menyediakan 20 hingga 30 ICU bed, ruang isolasi, dan tekanan negatif. Pemerintah memberikan uang instentif dan mengatakan sudah tenang boleh gunakan ICU, tetapi saat ada pandemi pemerintah boleh menguasai ICU bed, karena itulah dia punya angka kematian yang rendah di sana. Ini yang perlu kita pikirkan,” tuturnya.

Kemudian, persoalan yang tidak kalah penting yaitu menyangkut roda perputaran ekonomi yang mulai goyah. Pasalnya, seluruh sistem keuangan pasar modal, perbankan, dan sebagainya itu berdasarkan cashflow atau pendapatan di lapangan.

“Sekarang dengan lockdown, cashflow di lapangan menjadi zero. Kita sendiri sudah tutup 600 toko, 70 mal, dan hotel. Kalau di lapangan 0, tidak ada bayar sewa, bunga, dan mau tidak mau harus dibuka. Namun kalau mau dibuka, persiapan dunia kesehatan ini harus siap,” terangnya.

(Fredi/ David)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*